Minggu, 22 April 2012


Logo Paguyuban Angling Dharma
BILA ANGLINGDHARMO “NAIK” KERETA KELINCI  DAN “NONTON” BIOSKOP MINI.
Anglingdharmo. Siapa yang tak mendengar namanya. Hampir  seluruh rakyat Indonesia pasti pernah mendengar namanya. Bahkan bila mereka “gandrung” nonton serial Anglingdharma di Televisi dipastikan bukan hanya kenal nama. Seluruh rangkaian atau sepenggal cerita tentang Anglingdharmo mereka hafal. Cerita tentang episode Raja di “kerajaan” Malowopati yang bisa berubah menjadi burung belibis. Sebuah cerita “asli” rakyat Bojonegoro yang konon asli atau fiksi.
Nun jauh dari tanah Bojonegoro, lebih dari 1000 KM, tepatnya di Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur,  ternyata juga ada Anglingdharmo.  Tapi kali ini dia bukan raja yang bisa berubah jadi burung belibis. Meski dia juga telah berubah “wujud”.   Wujudnya adalah sebuah  perkumpulan orang-orang perantauan asal Bojonegoro yang di Sangatta. Mereka membuat nama paguyuban Anglingdharmo. Wadah “temu kangen” sesama perantauan. Wadah resmi, berakte notaris.
Sebagai Cah  Bojonegoro yang saat ini juga tinggal di Sangatta, saya juga tertarik masuk sebagai anggota Anglingdharmo. Maka, belum genap sebulan tinggal di Sangatta, segera saya mencari tahu siapa pengurus Anglingdharmo. Mau kulo nuwun dan mendaftar sebagai anggota. Ternyata Ketua Paguyuban Anglingdharmo saat ini dipegang seorang anak muda. M Yasin namanya. Umurnya baru 33 tahun. Di Bojonegoro ia asli Cah Bungkal, Desa Mayang Kawis, Kec. Balen. Ia dikenal sebagai salah seorang “pengusaha” muda yang core bisnisnya adalah konveksi di Sangatta.
Lewat Kapten Inf Supono, mantan Perwira Seksi (Pasi) Intel Kodim Sangatta --yang kebetulan asal orang Bojonegoro---, M Yasin, sang ketua Paguyuban diajak mampir ke kantor saya. Kami bertiga akhirnya ngobrol ngalur-ngidul dengan boso Bojonegoroan. “Piye kabarem kang,”kata saya. Kata khas Bojonegoro dengan memberi tekanan akhiran “em”. Sebagai kata ganti kepunyaan. Kalau pacarmu, orang Bojonegoro bilang “pacarem”. Ibumu jadi Ibuem. Komandanmu ya jadi Komandanem.....he he.
Singkat kata, saya menyampaikan keinginan “kumpul-kumpul” dengan seluruh warga Paguyuban. Gayung bersambut, kata sang ketua memang sudah lama paguyuban belum temu kangen. Saya tawarkan rabu malam, pada pertengahan Maret 2012 acara makan malam di rumah dinas Kajari.  “Sampaikan kepada warga paguyuban, ajak suami atau istri dan anak-anaknya,”pesan saya kepada Mas Yasin yang buat undangan.
Undangan jaman “IT” ini memang simpel. Cukup gethok tular lewat SMS. Hitungan menit “terundang” sudah bisa membaca undangan. Efektif sekali. Bahkan para “terundang” sudah bisa membalas bisa hadir atau tidak. Maka, tak perlu waktu lama, mas Yasin sudah bisa mengabari saya, bahwa nanti yang datang akan lebih banyak dari biasanya.
Benar saja. Bukan isapan jempol, malam itu habis Isya’ di rumah dinas, saya dan istri “kebanjiran” tamu warga. Secara bergelombang, satu demi satu undangan hadir ke rumah. Mereka antusias, ada warga Bojonegoro yang jadi Pak Jekso di wilayah tempat mereka merantau. Tak kurang hampir 100 orang (Suami-istri dan anak-anaknya) datang berkumpul malam itu.
Rumah dinas yang biasanya “senyap” berubah ramai. Mulai dari tukang batu, penjual Bakso, Pegawai KPC---Kalimantan Prima Coal---, Polisi, Tentara, Kiai, Anggota DPRD, pengusaha konveksi, penjual ikan bakar, sampai dosen, juga Jaksa—saya sendiri—malam itu kumpul. Obrolan pun bak di kampung sendiri. “Piye leh”. Kata-kata khas orang Bojonegoro Barat Kalitidu-Padangan sesekali terdengar. Kadang juga muncul “Iyo je”. Yang ini pasti orang asal Bojonegoro Timur, Kepohbaru, Kedungadem, Baureno.
Dari temu kangen itu akhirnya saya tahu. Ternyata banyak orang Bojonegoro mengkais rejeki di Kutai Timur. Salah satunya Drs. KH Sobirin—pengusaha bahan bangunan dan anggota DPRD, ketua PKB yang sekaligus ketua MUI Kutim—ternyata anggota paguyuban. Ia “ketarik” dari istrinya yang asli orang Kabunan, Balen, Bojonegoro.
Laskar Anglingdhramo di Sangatta yang paling banyak adalah penjual Bakso. Ternyata Bakso Bojonegoro termasuk “rajanya bakso” di Kutim. Lebih khusus lagi rata-rata dari Padangan, Bojonegoro. Saya juga baru “ngeh” kalau bakso yang tiap hari nongkrong dengan sepeda motor menyambangi Kantor Kejari Sangatta juga salah satu anak buah ‘wong” Padangan. Namanya Mamanya Gladys. Keren kan. Yang tentara ada 3 orang semua dinas di Kodim. Mereka kebanyak dari Kepohbaru dan Sugihwaras. Yang Polisi ada 2, semua berasal dari Kalitidu.
Setelah diawali dengan makan malam, saya memperkenalkan diri sebagai anggota baru, juga sebagai tuan rumah. Kemudian acara dilanjut dengan “tausiah” dari Kang KH Sobirin. Mengutip Kiai Sobirin, orang Bojonegoro ini datang ke Sangatta karena 2 “rang”. Apa itu? faktor “kurang” atau “wirang” (malu). “Kurang karena faktor ekonomi, atau “Wirang” karena habis kalah Pilkades,” guyon Kiai Sobirin.
Setelah Tauziah, saya mengajukan perlunya “sesi” guneman (diskusi) antar anggota. Terutama guneman mencari peluang-peluang bisnis di Kutim. Tentu bisnis “baru” diluar perbaksoan misalnya. Saya mengajukan ide, membuat batik khas Kutim, atau bisnis hiburan anak-anak. Seperti kolam renang mini dan kereta kelinci. “Karena pengamatan saya disini belum ada,”alasan saya. Ternyata pancingan saya berhasil. Suasana menjadi “hidup” setelah membicarakan peluang bisnis. Saling bersautan usul. Tak terasa waktu sampai menunjukkan pukul 23.00 WITA
“Baru kali ini pak suasana menjadi hidup dan ramai dalam pertemuan Paguyuban ,”kata M Yasin sang ketua yang akhirnya mengajak acara diakhiri saja. Mengingat waktu hampir mendekati jam 24.00. Kesimpulan malam itu, acara pertemuan berikutnya akan dilaksanakan di rumah KH Sobirin. Kemudian untuk peluang-peluang bisnis akan dibicarakan secara khusus. Dan acara temu kangen pun akhirnya ditutup.
Seminggu berselang, saya dengan KH Sobirin, Ketua M Yasin, Hariyono, SAg –Dosen STAIS yang dan beberapa anggota Paguyuban kembali bertemu. Secara intens membicarakan peluang-peluang bisnis. Kesimpulannya untuk kolam renang, akan dibangun dan dikembangkan oleh KH Sobirin. Batik, menunggu akan ada lomba design batik khas Kutim. Lantas Kereta kelinci mini, saya sudah menghubungi “pabriknya” di Madiun. “Bulan depan datang. Kita sepakat memberi nama Kereta mini Argo Anglingdarmo. Rute Bukit pelangi,” usul saya. Singkat dan selesai.
Minimal, sang kereta Argo Anglingdharmo nanti saat beroperasi akan menambah uang kas Paguyuban. Manfaat lain? Tentu ada. Minimal, “manisis” dan “kodektur”  kereta nanti akan direkrut dari orang-orang Bojonegoro. “mengurangi pengangguran”. Lantas izin operasi kereta? “sudah ada lampu hijau dari Kapolres. Izin khusus sebagai kendaraan pariwisita”. Masih ada peluang bisnis lain?
Ternyata masih ada. “Bioskop mini,”usul saya lagi terinspirasi bioskop mini di Bojonegoro depan Giant yang tiap hari terlihat selalu antri. Semua sepakat. Segera akan dicari ruko tempat bioskop mini akan “operasikan”. Incaran sudah ada di ruko Jl. Yos Sudarso. Jalan ini memang “tak pernah mati”. Namapun kemungkinan Bioskop mini “Anglingdharmo Theather”. Masih ada lagi? “Cukup...cukup...cukup. Ini dijalankan dulu,”kata saya.(DF)

Rabu, 04 April 2012

Monster Sangatta yang tertangkap warga

MONSTER SANGATTA DALAM KAOS
Setiap pergi ke daerah wisata atau kalau teman pergi ke luar negeri, saya selalu pesan oleh-oleh kaos oblong yang bergambar khas daerah atau negara tersebut. Mulai kaos oblong gambar  Vespa Bandung, Sepeda onthel Yogya, Kepala Singa Singapore, Joger Bali, Tower Petronas Kuala Lumpur, Gajah atau pagoda Thailand, Jembatan Suramadu Surabaya, Menjagan, Istana Bogor, Dayak Kalteng saya punya. Maklum penggemar kaos oblong.
Begitupun sebaliknya, teman-teman dan keponakan saya sering minta kaos oblong bila saya yang pergi ke daerah wisata. Makanya begitu saya menginjak bumi Etam di Sangatta awal Pebruari 2012, saya pun penasaran mencari kaos oblong khas Kaltim di Sangatta. Untuk oleh-oleh. Mencari  di Toko-toko pakaian di Sangatta, nihil. Tidak ada. Pikir saya, “seharusnya monster buaya Sangatta harus ditingkatkan derajatnya bukan lagi dianggap “musuh”, harus dijadikan ikon Sangatta dalam kaos,”pikir saya.
Seketika saat pulang ke Jawa saya datangi Teman saya yang punya konveksi, spesialis pembuat kaos omblong. Saya minta didesainkan kaos oblong bergambar Monster Sangatta yang gambarnya bisa dilihat di internet. Akhirnya saya diberi beberapa gambar desain yang dimaksud.  Sebuah gambar kepala buaya, juga buaya utuh dengan tulisan “Monster Sangatta, East Borneo Croc”. Sekalian saya pesan 500 kaos dengan aneka warna. Tujuannya bila ada teman datang, atau keponakan minta oleh-oleh sudah siap “stok” kaos khas sangatta.
Desain kaos khas Monster Sangatta itu ternyata menarik minat ketua paguyuban warga asal Bojonegoro yang tinggal di Sangatta. M Yasin. Sebagai ketua Paguyuban Anglingdarma dan sebagai pengusaha konveksi di Sangatta dia minta gambar desain Monster Sangatta . “Aku boleh ikut menjualkan kaosnya pak,” tantang Yasin. Nanti mau dikembangkan jadi kaos khas oleh-oleh ke Sangatta. Deal. Sebentar lagi mau produksi massal.
Wah, peluang bisnis di sangatta masih banyak. Saya banyak diskusi dengan M Yasin, bagaimana kalo product khas Sangatta yang sudah ada kita kemas dalam kota oleh-oleh khas Sangatta dalam kardus. Seperti kalau dari Semarang satu kardus isinya wingko, bandeng, krupuk, dll. Atau kalau dari Sidoarjo ada paket oleh-oleh yang isinya krupuk, bandeng, petis, terasi. Atau kalau dari Tuban, ikan laut yang di kripik, terasi dll.
Di Sangatta sudah ada amplang (krupuk ikan) dari Bengalon, juga jahe ekstraks asli Bengalon, kemudian ada bandeng khas yang dari Kenyamukan. “Bila semua produk itu dikemas bagus dalam kardus seperti versi Semarang, Sidoarjo, pasti laris manis,” kata saya kepada mas Yasin. Sekali lagi deal. Tapi ini masih proses. Belum produksi, seperti kaos. Kaos yang sudah “curi” start produksi. (DF).
Suasana Komplek Perkantoran Bukit Pelangi

SEKILAS KEJARI SANGATTA
Sejarah berdirinya Kejaksaan Negeri Sangatta tak terlepas dari berdirinya Kabupaten Kutai Timur (Kutim) di Propinsi Kalimantan Timur pada tahun 1999. Kutai Timur merupakan salah satu Kabupaten “pemekaran” dari wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Ibukota Kutai Timur adalah Sangatta, yang semula hanyalah sebuah Kecamatan. 
Kejaksaan Negeri Sangatta dibentuk mengikuti berdirinya Kabupaten Kutai Timur tersebut. Resmi berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 2002, tanggal 1 Nopember 2002. Pembentukan Kejaksaan Negeri Sangatta satu “paket” dalam Keppres dengan berdirinya Kejaksaan Negeri Cikarang, Bengkayang, Cilegon, Sendawar dan Tua Pejat.
Sedangkan operasional Kejaksaan Negeri Sangatta baru diresmikan pada  tanggal 10 Agustus 2003. Dengan menempati gedung seluas 488 M2 di tanah 1080 M2 di komplek perkantoran yang “terintregrited” di Bukit Pelangi, Sangatta Baru. Sebuah komplek perkantoran seluruh instansi pemerintah Kabupaten dan Instansi vertikal “menyatu”  dan berdampingan yang tertata rapi yang jaraknya terpisah 12 Km dari kota Sangatta lama.
Daerah hukum Kejaksaan Negeri Sangatta adalah seluruh wilayah Kabupaten Kutai Timur, yang secara geografis terletak pada posisi 115⁰ 56⁰ 26⁰ - 118⁰ 58⁰ 19⁰ Bujur Timur, 1⁰ 17⁰ 1⁰ - 1⁰ 52⁰ 39⁰ Lintang Utara. Secara administrasi  wilayah Kabupaten Kutai Timur di sebelah selatan berbatasan dengan Kota Bontang. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebelah Timur berbatasan dengan selat Makasar, dan sebelah utara dengan Kabupaten Bulungan.
Kabupaten Kutai Timur terdiri dari 18 Kecamatan. Meliputi Kecamatan Sangatta Utara, Sangatta Selatan, Muara Wahau, Muara Bengkal, Muara Ancalong, Sangkulirang, Bengalon, Kaliorang, Telen, Sandaran, Kongbeng, Rantau Pulung, Busang,  Karangan, Batu Ampar, Kaubun, Long Mesangat, dan Teluk Pandan.
Sedangkan jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur sesuai data tahun 2012 adalah 412.169 jiwa. terdiri dari 226.029 laki-laki dan 186.140 perempuan. Komposisinya penduduknya sangat heterogen, terdiri dari suku Kutai,  Dayak, Jawa, Banjar, Bugis, Madura, Toraja dan Batak, serta sedikit etnis Cina. Jumlah Kepala Keluarga adalah 111.080.
Heterogennya penduduk Kutai Timur tak terlepas operasionalnya ratusan perusahaan tambang Batubara, Perusahaan kayu dan kelapa sawit yang ada di wilayah Kutai Timur. Perusahaan Batubara terbesar adalah yang dikelola PT Kaltim Prima Coal (KPC). Perusahaan group Bakrie ini adalah “motor” penggerak perekonomian Kabupaten Kutim yang saat ini terus berkembang pesat.
Kebutuhan tenaga kerja pada PT KPC dan perusahaan-perusahaan tambang batubara lainnya, perusahaan dan Kelapa sawit tersebut tersebut telah menarik pendatang  dari seluruh penjuru tanah air untuk “mengkais” rejeki di Kutai Timur. Bahkan ratusan Tenaga Kerja Asing (TKA) mulai dari Australia, India, Inggris ikut bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut.
Perkembangan perekonomian yang pesat Kabupaten Kutai Timur tersebut juga terlihat adanya perkembangan infrastruktur jalan dan sarana lainnya. Saat ini di Kutai Timur juga terdapat lapangan terbang perintis Tanjungbara milik PT KPC. Tiap hari lebih dari 3 Flight dengan pesawat cassa bolak-balik menerbangi Sangatta-Balikpapan. Bahkan sarana olahraga golf dengan 18 hole juga terdapat di komplek PT. KPC.
Adapun data perkara tindak pidana umum yang ditangani Kejaksaan Negeri Sangatta rata-rata tiap bulan 30-40 perkara. Sesuai data terakhir tahun 2011 perkara tindak pidana umum SPDP yang diterima  sebanyak 353 perkara. Yang diikuti berkas dan dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti (tahap II) sebanyak 339 perkara, dan semua perkara tersebut telah dilimpahkan ke Pengadilan.
Sedangkan perkara pidana khusus, untuk tahun 2011 perkara tindak pidana korupsi telah dilakukan penyidikan 4 perkara. Penuntutan ada 2 perkara yaitu perkara tindak pidana korupsi dalam pembayaran Pajak (pembebasan pajak terhutang) oleh PT KTE dan perkara korupsi Penyimpangan pada Proyek Pengembangan Budi Daya bibit Rumput Laut .
Jumlah pegawai Kejaksaan Negeri Sangatta per 1 April 2012 tercatat sebanyak 29 Pegawai yang terdiri dari 14 Jaksa dan 15 pegawai Tata Usaha. Tetapi efektifnya jumlah jaksa 13, karena seorang Jaksa Bernama Titana T Pamikatsih, SH telah mendapat Sprint ke Kejati Kaltim. Sedangkan Tata Usaha berkurang 2 orang, karena Andik Puja Laksana, SH mendapat Sprint Kajati ke Kejari Malinau dan S Uhan mendapat Sprint Kajati ke Kejari Sendawar.
Sejak berdiri tahun 2003 sampai sekarang Kejaksaan Negeri Sangatta sudah terjadi 5 pergantian Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Berturut turut yang memimpin Kejaksaan Negeri Sangatta yang pertama adalah Rasidi, SH (11 Agustus 2003 s/d 27 Oktober 2004). Selanjutnya dijabat Miyanto, SH.Mhum (28 Oktober 2004 s/d 15 Oktober 2007 ). Kajari ke-3 adalah Suherlan, SH (16 Oktober 2007 s/d 14 Oktober 2010). Selanjutnya adalah Didik Djoko Ady Poerwoko menjabat sejak 15 Oktober 2010 s/d 19 Januari 2012). Dan saat ini sejak 19 Januari 2012 Kepala Kejaksaan Negeri Sangatta dijabat Didik Farkhan Alisyahdi, SH.MH. (DF)




Jalan Bontang - Sangatta
Satu-satunya pesawat Balikpapan - Sangatta

SANGATTA: SANGAT MENDERITA ATAU SANGAT “A”syik?
Akhir 2011 lalu, saya mendapat SK pindah ke Sangatta. Hati berbunga-bunga karena kepindahan ke kota itu adalah promosi jabatan. Tetapi hati saya juga dibayangi “penasaran” karena belum pernah sekalipun saya menginjakkan kaki di bumi Etam (Sebutan bumi Kalimantan Timur). Apalagi ke kota Sangatta, sebuah kota yang namanya “keren”  berbau mana kota di Jepang.
Bergegas saya keluarkan dan buka tablet Galaxy Tab ke menu google Maps. Dari google Maps saya baru “ngeh” kalau Sangatta itu sebuah kota tak jauh dari laut. Kalau dilihat di peta letaknya tidak jauh dibawahnya “kepala” pulau Kalimantan. Saya “pelototi” jalan kearah Sangatta setelah “start” dari Balikpapan harus menuju Samarinda, lalu ke Bontang dan baru Sangatta.
Setelah tahu posisi kota, rasa penasaran saya berlanjut untuk mengetahui “isi” dan potensi kota Sangatta. Seketika tangan saya segera “menggeser” dan minta informasi ke “mbah” Google. Hasil “pencarian” google, pertama yang muncul terbanyak adalah ulasan tentang keberadaan PT. Kalimantan Prima Coal (KPC) di Sangatta. Kemudian adanya “Monster” buaya Sangatta yang terkenal sangat besar (panjang lebih 6 meter) dan ganas.
Gambar-gambar buaya raksasa yang ditangkap penduduk saya lihat satu persatu. Dari narasi gambar-gambar penangkapan tersebut konon tak kurang telah  5 orang penduduk di Sangatta selama 10 tahun terakhir di mangsa Monster tersebut. Dalam pikiran saya, “Wah Monster Sangatta itu bisa jadi ikon kota, aku mau buat kaosnya,” (tulisan terpisah-Ikon Monster dalam kaos).
Rasa penasaran makin “menjadi-jadi” dan berkecamuk di hati. Terbayang banyak Monster buaya “berkeliaran” di sungai-sungai Sangatta. Segera saya raih HP dan mencari di kontak nama teman saya yang pernah dinas di Kalimantan Timur. Ketemu. Sebut saja namanya Bang Harri. Langsung saya hubungi untuk menanyakan suasana kota Sangatta. Sengaja saya tidak mengaku bila saya yang mau pindah ke Sangatta. Saya hanya bilang kepada teman saya tadi, bila adikku diterima di PT KPC di Sangatta, “Kalau mau ke sana harus naik apa?” tanya saya.
“Waduh, Sangatta itu sangat jauh, saya sudah beberapa kali ke sana,” katanya. Turun pesawat di Balikpapan dan harus menempuh perjalanan darat 9 jam dengan kondisi jalan berkelok-kelok melewati “Bukit Soeharto” sebelum Samarinda. Kemudian Lanjut Bontang dan baru Sangatta. “Makanya Sangatta itu kepanjangan dari kata Sangat menderita. Disana harga makanan dan biaya hidup mahal. Air sudah, warna keruh lagi,”jelas Bang Harri polos, “apa adanya”.
Saya yakin ia berkata “jujur”. Tak ada yang ditutupi atau dilebih-lebihkan. Pasti yang disampaikan itu benar adanya, sesuai “pengetahuannya” dan pengalamannya. Apalagi ia pernah beberapa kali berkunjung disana. Keyakinan saya itu juga karena Bang Harri tidak tahu kalau yang akan berangkat ke Sangatta saya sendiri. Kalau tahu saya yang akan pindah ke Sangatta, pasti dia akan bohong. Akan melebih-lebihkan keadaan Sangatta. Biar aku mantap dan senang berangkat menuju Sangatta.
Setelah menelpon, kesimpulan saya saat itu, Sangatta adalah kota baru hasil pemekaran yang letaknya jauh dari Balikpapan. Keadaannya sesuai kata teman saya kota yang masih berkembang dan semua serba mahal. Sungai-sungai banyak monster buayanya. Dan disana ada pertambangan batubara yang besar bernama KPC, tentu kotanya berdebu. Air pun keruh, karena tanahnya rawa.
Waktupun terus berjalan. Akhirnya pertengahan Januari 2012 saya harus berangkat ke Kalimantan Timur. Untuk “memulai” hidup di Bumi Etam. Melaksanakan tugas. Saya berangkat didampingi istri. Tanpa anak-anak yang tetap sekolah di Bojonegoro. Tujuan pertama adalah kota Samarinda. Karena acara pelantikan saya diadakan di Samarinda. Benar saja kata bang Harri, bila jalan menuju Samarinda-Sangatta berkelok-kelok. Dari Balikpapan ke Samarinda harus melewati bukit “Soeharto” selama 3 jam.
Setelah acara pelantikan di Samarinda selesai, akhirnya tiba saatnya menuju Sangatta. Karena habis pelantikan, kami ditemani 2 orang pegawai saya untuk menuju Sangatta. Benar saja, kami harus melewati jalan berkelok-kelok, naik turun tiada berkesudahan. Spontan saya teringat dengan suasana jalanan dari Batu Malang menuju Kediri. Tak kurang sama persis, tetapi agak sempit. Berkali-kali saya “ketemu” truk-truk besar mengangkut alat berat. Baik berpapasan, atau kami harus menyalipnya. Terkadang kami harus berbagi jalan dengan kendaraan besar itu. Seringkali mobil kami  harus “mengalah” turun ke bahu jalan “takut” kena “seruduk” truk besar itu.
Tiba di Sangatta sudah laut malam. Jam 22.30 WITA. Saya kaget, kehidupan pertokoan dan para penjual makanan di sepanjang masuk kota Jalan Yos Sudarso masih buka, dan ramai pengunjung.  Sepertinya ada “geliat” ekonomi di kota ini. Sepanjang jalan, saya juga lihat hampir semua bank nasioanl buka cabang di Sangatta. Kata istri saya, yang kebetulan pegawai BRI, berarti potensi ekonomi Sangatta besar. “Kalau bank-bank tersebut berani buka cabang disini pasti perputaran uang disini luar biasa,”kata istri saya.
Yang lebih kaget lagi, ternyata bisnis Franchise dari negeri paman sam, Kentucy Fried Chicken (KFC) juga sudah buka gereai di Sangatta. Di Gedung Sangatta Bisnis Center (SBC). “Wah, kalau sekelas KFC juga sudah berani buka disini berarti ini daerah potensial. Anak-anak kalau liburan kesini bakal senang ada KFC, “tambah istri saya.
Lebih heboh lagi, cerita Andi, pegawai di Kantor Sangatta yang menemani perjalanan kami sejak dari Balipapan, bahwa di Sangatta juga sudah ada driving range golf. Bahkan lapangan golf 18 hole sudah ada. “Bapak pasti senang bisa main golf disini,” kata Andi sepertinya tahu kalau saya senang main golf. Soal makanan, saya lihat serbuan “orang” Jawa Timur buka sea foodnya, orang Yogya dengan rumah makan gudegnya, orang padang yang hampir setiap jengkal buat rumah makan padang jadi berkembang Sangatta.
Setelah menyusuri jalan utama pertokoan Jl Yos Sudarso, akhirnya kami dibelokkan menuju Jalan Pendidikan menuju Bukit Pelangi, komplek perkantoran dan rumah dinas. Letak di bukit pelangi, jaraknya 10 Km dari Jalan Yos Sudarso. Jalannya saya lihat sudah empat jalur dipisah, mulus dan lebar. Nyala lampu masjid raya Sangatta yang indah dan besar mengingatkan seperti masjid Agung Surabaya. “Wow...keren Masjidnya dengan kubah warna hijau dihiasi lampu yang indah dimalam hari,” gumanku.
Sayang lampu  Penerangan Jalan Umum (PJU) jalan pendidikan yang sudah terpasang mati. “Maklum Pak, disini di Bukit Pelangi ini tidak ada listrik PLN, yang ada listrik genset dari Pemda sendiri. Sehingga sering mati,” kata Andi yang malam itu bak jadi guide kami. Di Sangatta memang kekurangan pasokan listrik. “Saya pernah baca, owner hotel paling mewah di Sangatta Royal Victoria mengeluh, marginnya sangat tipis gara-gara tersedot pengeluaran genset yang harus menyediakan sendiri,”tambah Andi.
Benar kata orang, tentang listrik di Kaltim bak tikus mati dilumbung padi. Bagaimana tidak, batubara yang diangkut dan menggerakkan turbin PLTU di seluruh Jawa mulai Paiton, Jepara, Indramayu diambil dari bumi Kaltim. Sementara daerah penghasil “rakyatnya” harus pakai genset sendiri-sendiri. Kalaupun ada listrik PLN, daya yang sediakan terbatas. “Ada dokter yang istrinya teman di kantor tidak bisa pasang AC untuk kliniknya karena selalu ditolak PLN kalau mau menambah daya,”cerita Andi.
Akhir cerita, saat ini saya sudah tinggal selama 2 bulan 15 hari di Sangatta dapat menyimpulkan. Bahwa perkembangan dan perekonomian Sangatta “luar biasa”. Tidak ada apa-apanya daerah Kabupaten di Jawa. Dari APBDnya aja sudah terlihat hampir Rp 2,5 T. PT KPC memang  sebagai “penggerak” ekonomi Sangatta. Bagai gula-gula, banyak “semut” datang sebagai tenaga, sub contrak, perusahaan alat berat, mobil, leasing, katering, loundry, bengkel, rumah makan dan berduyun-duyun turunnya “berebut” kue ekonomi di Sangatta.
   Memang, datang ke Sangatta harus siap “tahan nafas” bila biasa hidup di   Jawa. Harga-harga makanan mahal. Aqua galon bila di Jawa Rp 11 ribu, disini sudah Rp 34 ribu. Kalau di Jawa sekali makan nasi pecel masih ada yang harga dibawah Rp 10, di Sangatta mininal 23 ribu. Kalau di Jawa mau mengisi “bensin” kendaraan kapanpun, berapapun, dimanapun bisa. Karena SPBU banyak yang 24 jam. Kalau di Sangatta jangan harap. Habis Magrib tutup. Kalau pagi buka langsung antri. Antrean panjang. Bisa hampir 1 jam sekedar mengisi bensin. Apalagi saat isu kenaikan BBM tempo hari, semua jalan menuju SPBU macet..cet dampak antrean kendaraan.
Kembali ke soal, apakah tinggal di Sangatta: Sangat menderita atau Sangat “A”syik akhirnya tinggal kembali ke diri masing-masing. Kalau saya sih, antara sangat menderita (ha ha...karena harus pisah dengan anak-istri), tapi juga sangat “A”syik, bisa menghibur diri dengan driving atau main golf setiap hari. Tapi yang jelas belum pernah ketemu Monster buaya Sangatta, meski saya sudah membuat Kaosnya dengan gambar Monster Sangatta. (DF)  



Selasa, 21 Februari 2012


DIDIK FARKHAN ALISYAHDI, SH.MH:
WARTAWAN YANG JADI JAKSA

 Tak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya, ia bakal menjadi Jaksa. Karena cita-citanya sejak kecil hanya satu, menjadi Wartawan. Obsesinya menjadi seorang jurnalis yang “pakar” hukum. Seperti Karni Ilyas yang dulu mantan Wartawan Tempo, kini Pimred TV- One dikenal sebagai wartawan yang “jago” di bidang hukum. Makanya selepas lulus SMAN 2 Bojonegoro, 1989 ia pun mendaftar kuliah  hanya memilih satu jurusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Tidak ada yang lain. 
Saat itu ia berpikir, ilmu hukum ia perdalami secara formal di fakultas, sementara ilmu jurnalis akan ia “serap” secara informal dengan aktif di Pers mahasiswa. Makanya sambil kuliah ia aktif di majalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang bernama MANIFEST. Di Majalah MANIFEST pertama ia  menjadi reporter. Tahun kedua naik jadi anggota Dewan Redaksi, kemudian Pemimpin Redaksi hingga terakhir menjelang lulus ia menjabat “pimpinan” puncak sebagai Pemimpin Umum.
Pasca lulus kuliah, 1993 ia masih tetap konsisten dengan cita-citanya pengin jadi Wartawan. Dengan bekal ilmu formal, sebagai Sarjana Hukum dan ilmu non formal jurnalistik ia melamar di koran harian Jawa Pos Group.  Setelah proses tes, ia diterima sebagai Calon Reporter dan ditempatkan di wilayah Kabupaten Bojonegoro, daerah  tempat kelahirannya. Cita-citanya menjadi Wartawanpun terkabul. Dalam evaluasi calon reporter ia sempat dinyatakan pengirim berita dan foto terbanyak. “Maklum di Bojonegoro pas terjadi banjir besar, sehingga berita dan fotonya banyak dimuat,”kelakar pria yang hobby main Tenis dan golf itu.
Satu tahun ia sempat “menikmati” kehidupan menjadi Wartawan. Hingga suatu ketika, 1994 atas permintaan Ayahnya Alm H. Chozin Mabruri, agar ia mencoba ikut tes Calon Jaksa di Jakarta. Permintaan orang tuanya itu ternyata telah mengubah jalan hidupnya kelak. Setelah melalui 7 tahap tes, ia diterima sebagai Calon Jaksa, dan harus “mengubur” impiannya berkarier di dunia jurnalistik. Ia harus meninggalkan profesi lama yang gajinya lebih besar dibanding calon pegawai negeri sipil. “Saat di wartawan gaji saya sudah 250 ribu, menjadi Calon pegawai hanya Rp 100 ribu,”terangnya
Sejak 1994, ia akhirnya merentas karir di Kejaksaan.  Diangkat pertama sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Jaksa di Kejaksaan Negeri Bojonegoro. Saat dinas di Kejari Bojonegoro itulah ia bertemu dengan istrinya, Ery Yeniantiningtyas yang saat itu juga berstatus pegawai baru di BRI Cabang Bojonegoro. “Maklum kantor Kejaksaan dan BRI hanya dipisah rumah dinas ketua PN Bojonegoro. Jadi memungkinkan Saya bisa melirik dan memilih pegawai BRI yang paling cantik,”ujarnya tertawa.
Kemudian September 1997, ia dipanggil untuk mengikuti Pendidikan Pembentukan Jaksa (PPJ) di Pusdiklat Kejaksaan Ragunan selama 6 bulan. Tetapi sebelum berangkat, tepatnya 31 Agustus 1997 ia memutuskan untuk menikah lebih dahulu. Ia selalu ingat tanggal pernikahannya karena bebarengan meninggalnya Lady Diana yang menghebohkan dunia saat itu. “Jadi saat mengikuti pendidikan Jaksa selama 6 bulan, saya berstatus pengantin baru. Pusing juga harus pisah,”guraunya.
Selepas pendidikan, 20 Maret 1998 ia resmi dilantik menjadi Jaksa. Biasanya kebijakan Jaksa Agung, sebagai Jaksa baru, yang berasal dari Pulau Jawa ditempatkan diluar Jawa. Tetapi saat itu keberuntungan berpihak kepadanya. Anggaran untuk uang perjalanan dinas (uang pindah) di Kejaksaan Agung habis, hingga semua Jaksa baru dikembalikan ke tempat asalnya masing-masing. Menunggu anggaran tahun depan. Beruntunglah ia, sebagai pengantin baru ia bisa “bersatu” lagi dengan istrinya di Bojonegoro.
Saat di Bojonegoro ini, anak pertamanya Diffaryza Zaki Rahman lahir pada 21 Agustus 1999. Kemudian sampai pada penghujung tahun 2000, saat istrinya mengandung anak kedua datang SK mutasi. Ia dipromosikan sebagai Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Martapura, Kalimantan Selatan. Terpaksa ia harus pisah lagi dengan keluarga. Karena sang istri masih di BRI Bojonegoro.
Namun dibalik kesedihan berpisah dengan keluarga, ia bisa mengambil hikmah dengan bisa melanjutkan kuliah Magister Hukum di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Dan saat ia masih di Kejari Martapura itu anak keduanya, Farryntya Noor Sabrina lahir di Bojonegoro, 28 September 2001. “Nama Sabrina itu saya pilih untuk anak kedua karena saat itu saya harus menjalani kehidupan dengan sabar saat pisah keluarga,”tuturnya.
DUA KALI TUNTUT MATI
Di Kejari Martapura ia jalani selama 2 tahun. Namun di kota yang juga dijuluki serambi Mekah itu banyak kejadian dan peristiwa yang tidak mungkin terlupakan sepanjang karirnya menjadi Jaksa. “Saat di Martapura itu saya dua kali menuntut mati terdakwa dalam kasus pembunuhan. Pertama terhadap terdakwa Fajri, mahasiswa semester akhir yang tega membunuh adik kelasnya dengan 17 tusukan. Kedua kepada terdakwa Adul, yang telah merampas sepeda motor dan membunuh pemiliknya dengan cara dimutilasi,”jelasnya.
Saat di Martapura itu juga ia sempat melakukan penyidikan perkara korupsi di Dinas Pendidikan. Pemimpin Proyek pembangunan SD dan kontraktornya ia jadikan tersangka atas penyelewengan bestek pembangunan SD. Banyak bahan bangunan tidak sesuai RAB (Rencana Anggaran Biaya), Sehingga ada SD yang baru dibangun ambruk.  Saat melakukan penyidikan itu ia selalu didukung masyarakat setempat. Ia  memang sehari-hari berbaur dengan masyarakat. Imbasnya ia dapat belajar dan fasih bahasa Banjar sampai saat ini.
Awal tahun 2003, ia “ditarik” ke Jawa Timur. Tepatnya sebagai Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang. Ia Kasi Pidsus pertama di Kepanjen sejak dibentuk Kejari tersendiri pisah dari Kejaksaan Negeri Malang.  Saat di Kepanjen itu ia sempat “memenjarakan” Sueb Bani Ismail dan Poniran –pensiunan TNI AU—yang mendirikan koperasi. Karena menyelewengkan dana KUT sebesar Rp 2 Milyar. Saat di Kepanjen pula, Juli 2003  ia “sekolah” Diklat PIM III di Pusdiklat Ragunan. Sebagai peserta termuda, hingga di Pusdiklat ia panggil –si bayi tabung— oleh teman sekelasnya termasuk Amri Satta, wakil Kajati Sumut saat ini.
Belum genap satu tahun di Kepanjen, penggemar olahraga Tenis dan golf itu dipindah lagi masih di Jawa Timur. Tepatnya sebagai Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, Surabaya. Saat di Tanjung Perak ini, anak ketiganya Farryzki Noor Thoriq lahir pada 26 Mei 2004. Di Kejari yang perkara pidumnya terpadat kedua di Jawa Timur ia melaksanakan tugas selama 2 tahun pas. Sebab ia dilantik tanggal 23 Nopember 2003, meninggalkan Tanjung Perak juga bulan Nopember 2005 saat ia dilantik sebagai Kepala Seksi Pra Penuntutan (Kasi Pratut) pada Aspidum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
JAKSA KASUS PEMBUNUHAN MUNIR
Bagai Kabayan saba Kota. Ia mulai menapak karir di Ibukota. Perkara berskala nasional dan internasional yang disidik penyidik Polda Metro Jaya dan Mabes Polri semua “mampir” di mejanya. Saat itu perkara dari Mabes Polri belum diserahkan ke Jaksa di JAM Pidum Kejaksaan Agung. Sebagai Kasi Pra Penuntutan ia harus ikut bertanggung jawab meneliti berkas perkara.  Apakah semua berkas perkara itu sudah lengkap secara formil maupun materiilnya untuk dapat disidangkan ke Pengadilan. Ia sebagai palang pintu penelitian berkas perkara
Ia sendiri sempat menangani dan menyidangkan Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan Munir dengan terdakwa Polycarpus. Juga sebagai salah satu Jaksa yang menangani terdakwa mantan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan dan sekretaris Rohainil Aini yang didakwa terlibat dalam kasus pembunuhan Munir. Kemudian perkara aktor Roy Martin jilid I saat nyabu dan perkara mantan ketua MPR Zainal Maarif yang didakwa mencemarkan nama baik Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono karena menuduh presiden sudah kawin saat masuk AKABRI.
Setelah 2 tahun 5 bulan sebagai Kasi Pra Penuntutan, akhirnya ia kembali masuk Jawa Timur. Sebagai Kepala Seksi Ekonomi dan Moneter (Ekmon) di Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Awal Maret 2008 ia dilantik. Saat menjabat Kasi Ekmon itu ia sempat memenjarakan ketua Yayasan pensiunan pegawai PT Garam, Sumenep Drs Munir Syam, MM karena menjual aset PT Garam senilai Rp 38 Milyar. Ia sebagai ketua tim penyidikan. Kemudian juga berhasil menyidik kasus Dana Bantuan Sosial Bupati Bojonegoro Drs Santoso yang telah menyelewengkan dana Bansos sebesar Rp 3,5 Milyar hingga ke Pengadilan.
Pada Nopember 2008 saat ia dan istri sedang wukuf di padang Arofah, ia mendapat kabar bila dirinya dimutasi lagi masuk ke Kejaksaan Agung. Tepatnya di Biro Kepegawaian menjadi Kepala Sub Bagian pengadaan Pegawai. Dengan masuk bidang pembinaan lengkap sudah semua unit kerja di Kejaksaan pernah “dipegangnya”. Mulai bidang Datun saat Capeg, bidang Intelijen, Pidana Khusus, Pidana umum dan pembinaan. Ibarat orientasi medan ia sudah mengenal kelima “areal” bidang di Kejaksaan.
Sebagai Kasubbag Pengadaan Pegawai ia menjabat selama 2 tahun 9 bulan. Karena, sejak tanggal 8 September 2011 ia dilantik promosi eselon III menjadi Koordinator bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Berarti ia “balik kucing” ke Kejati DKI Jakarta. Sampai penghujung tahun, tepatnya 21 Desember 2011 ia terima SK pengangkatan sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Sangatta, Kalimantan Timur. Saat menerima kabar SK terakhir ini yang paling membuat ia terharu.
 Apa pasal? Ternyata saat ia menerima kabar adanya SK sebagai Kajari Sangatta itu  persis saat keluarga besarnya di Bojonegoro sedang menyelenggarakan Haul 1000 hari meninggalnya alm Ayahnya H. Chozin Mabruri. “Setelah mendapat kabar itu tak terasa saya menangis teringat Almarhum. Karena dulu Beliau lah dan Ibu saya yang mendorong dan membujuk saya ikut tes Kejaksaan, meski semula saya ngotot pengin tetap jadi Wartawan,”kenangnya.
Menurut Didik, kedua orang tuanya, Almarhum H. Chozin Mabruri dan Hj Asri’ah memang Pegawai Negeri minded. Semua anaknya,  7 orang “disemangati” dan didorong melamar menjadi PNS.  Kalau mau melamar ke swasta, “digiring” lagi uspaya masuk PNS. Alhasil semua keinginan kedua ortunya jadi kenyataan. Saudara Didik, kakak pertama, Hamida Hayati, SE begitu lulus FE Universitas Negeri Jember masuk BRI. Kakak kedua Dra. Nurul Azizah, MM Seorang Camat perempuan di Bojonegoro.
Sementara, Didik adalah anak ketiga. Adiknya, Elfia Nuraini, Spt.Mpt salah satu Kabid di Dinas peternakan Bojoneoro. Anak kelima, dr. Ulfa Kholili, Spd adalah dosen di Fakultas Kedokteran Unair, anak keenam Erna Zulaikha, alumni FT ITS sekarang juga “gabung” di Pemda Bojonegoro di Dinas Lingkungan. “Terakhir adik saya, Helmi Ali Fikri, SSTP disarankan masuk STPDN  dan sekarang dinas di Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, padahal dulu sudah masuk Teknik sipil Unibraw,” terang Didik         (Tim)

PERJALANAN KARIR
1993 – 1994 :  Wartawan harian Memo Jawa Pos Group Surabaya
1994 – 1995 :  Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Jaksa di Datun Kejari Bojonegoro.
1995 – 1997 :  Staf bidang Intelijen Kejari Bojonegoro.
1997 – 1998 :  Pendidikan pembentukan Jaksa
1998 – 2000 :  Kasubsi Politik pada Seksi Intelijen Kejari Bojonegoro
2000 – 2002 :  Kepala Seksi Intelijen Kejari Martapura, Kalimantan Selatan
2002 – 2003 :  Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Kepanjen, Kabupaten Malang.
2003 – 2005 :  Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Tanjung Perak, Surabaya.
2005 – 2008 :  Kepala Seksi Pra Penuntutan pada Aspidum Kejati DKI Jakarta.
2008 – 2009 :  Kepala Seksi Ekonomi dan Moneter pada Asisten Intelijen Kejati Jatim
2009 – 2011 :  Kepala Sub Bagian Pengadaan Pegawai Biro Kepegawaian Kejaksaan Agung
2011 – 2012 :  Koordinator Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
2012 –          :  Kepala Kejaksaan Negeri Sangatta, Kalimanta Timur.



DIDIK ITU NAMA TAMBAHAN
 Ia terlahir di Bojonegoro, 18 Oktober 1971 dengan nama Farkhan Alisyahdi. Tanpa ada nama depan Didik. Konon, nama Farkhan Alisyahdi itu diberikan Alm Ayahnya sebagai rasa syukur karena per 1 Oktober 1971 ayahnya diangkat menjadi pegawai negeri di Departemen Agama. Kata Farkhan dalam bahasa Arab artinya gembira, kemudian Ali itu bisa diartikan pemimpin, Sah diartikan resmi dan Di artinya Negara. Sehingga kalau digabung artinya saat itu Ayahnya Gembira karena resmi menjadi abdi negara.
Lantas sejak kapan nama depannya ada nama Didik? Ia menjawab sejak masuk SD tahun 1977. Menurut anak ketiga dari tujuh bersaudara itu ada kisah uniknya. Saat itu, ia masuk kelas 1 SDN Sumbertlaseh II, Kec. Dander, Kab. Bojonegoro tanpa melalui TK. Dan ia masuk SD tanpa pernah didaftarkan oleh orang tuanya. Karena umurnya baru 5 tahun. Ia masuk sekolah sendiri, karena ikut-ikutan kedua Kakak perempuannya yang sekolah di tempat itu.
Karena tidak pernah didaftarkan, maka oleh guru dalam rapor ditulis saja namanya Didik. Sesuai nama panggilan sehari-harinya di sekolah. Ia sejak kecil memang dipanggil Didik, yang berasal dari akhiran namanya Alisyahdi. Baru setelah terima rapor dan naik kelas 2, orang tuanya baru “datang” ke sekolah, meminta agar Didik jangan dinaikkan kelas 2. Karena ia paling kecil sendiri, dan “meralat” namanya dalam rapor salah, bukan Didik. Tapi Farkhan Alisyahdi.
Apa boleh dikata. Gurunya tetap ngotot Didik dinaikkan kelas 2. Alasannya meski paling kecil ia ranking 1 di SD yang terletak sebelah selatan dari kota Bojonegoro itu. Soal nama, Gurunya memberi solusi bagaimana karena sudah terlanjur ditulis nama Didik dalam rapor, bagimana kalau nama aslinya di tulis dibelakangnya Didik. Deal. Sepakat. Akhirnya nama dalam rapor ditulis menjadi Didik Farkhan Alisyahdi. Itulah nama lengkap yang “resmi” hingga sekarang.
Lho, lantas bagaimana perbedaan nama itu dengan nama di akte kelahiran? Alumni Magister Hukum dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin itu dengan tertawa menjawab, “Saya tidak mempunyai akta kelahiran saat lahir. Akta kelahiran saya baru dibuat saat mau masuk kuliah, 1989. Itupun dibuat karena “terpaksa”, adanya ketentuan wajib melampirkan akta kelahiran saat pendaftaran ulang. Jadi nama di akta kelahiran sudah disesuaikan menjadi Didik Farkhan Alisyahdi,”ujar Bapak 3 anak itu.
Adanya penambahan nama Didik, terang mantan Aktivis HMI di Malang itu yang membuat dirinya merasa “hoki”  menjadi Jaksa. Tanpa ada penambahan nama Didik oleh guru SD belum tentu dirinya bakal menjadi Jaksa. “Kalau nama saya tetap Farkhan Alisyahdi, mungkin saya tidak menjadi Jaksa. Kemungkinan besar saya menjadi presenter,’katanya tergelak sambil menyebut nama Farkhan, sang presenter kondang. (Tim)