![]() | |
| Logo Paguyuban Angling Dharma |
BILA
ANGLINGDHARMO “NAIK” KERETA KELINCI DAN “NONTON”
BIOSKOP MINI.
Anglingdharmo.
Siapa yang tak mendengar namanya. Hampir
seluruh rakyat Indonesia pasti pernah mendengar namanya. Bahkan bila
mereka “gandrung” nonton serial Anglingdharma di Televisi dipastikan bukan
hanya kenal nama. Seluruh rangkaian atau sepenggal cerita tentang Anglingdharmo
mereka hafal. Cerita tentang episode Raja di “kerajaan” Malowopati yang bisa
berubah menjadi burung belibis. Sebuah cerita “asli” rakyat Bojonegoro yang
konon asli atau fiksi.
Nun jauh dari
tanah Bojonegoro, lebih dari 1000 KM, tepatnya di Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan
Timur, ternyata juga ada Anglingdharmo. Tapi kali ini dia bukan raja yang bisa berubah
jadi burung belibis. Meski dia juga telah berubah “wujud”. Wujudnya adalah sebuah perkumpulan orang-orang perantauan asal Bojonegoro
yang di Sangatta. Mereka membuat nama paguyuban Anglingdharmo. Wadah “temu
kangen” sesama perantauan. Wadah resmi, berakte notaris.
Sebagai Cah Bojonegoro yang saat ini juga tinggal di
Sangatta, saya juga tertarik masuk sebagai anggota Anglingdharmo. Maka, belum
genap sebulan tinggal di Sangatta, segera saya mencari tahu siapa pengurus
Anglingdharmo. Mau kulo nuwun dan
mendaftar sebagai anggota. Ternyata Ketua Paguyuban Anglingdharmo saat ini
dipegang seorang anak muda. M Yasin namanya. Umurnya baru 33 tahun. Di
Bojonegoro ia asli Cah Bungkal, Desa
Mayang Kawis, Kec. Balen. Ia dikenal sebagai salah seorang “pengusaha” muda
yang core bisnisnya adalah konveksi
di Sangatta.
Lewat Kapten Inf
Supono, mantan Perwira Seksi (Pasi) Intel Kodim Sangatta --yang kebetulan asal
orang Bojonegoro---, M Yasin, sang ketua Paguyuban diajak mampir ke kantor
saya. Kami bertiga akhirnya ngobrol ngalur-ngidul
dengan boso Bojonegoroan. “Piye
kabarem kang,”kata saya. Kata khas Bojonegoro dengan memberi tekanan akhiran
“em”. Sebagai kata ganti kepunyaan. Kalau pacarmu, orang Bojonegoro bilang
“pacarem”. Ibumu jadi Ibuem. Komandanmu ya jadi Komandanem.....he he.
Singkat kata,
saya menyampaikan keinginan “kumpul-kumpul” dengan seluruh warga Paguyuban. Gayung
bersambut, kata sang ketua memang sudah lama paguyuban belum temu kangen. Saya
tawarkan rabu malam, pada pertengahan Maret 2012 acara makan malam di rumah
dinas Kajari. “Sampaikan kepada warga
paguyuban, ajak suami atau istri dan anak-anaknya,”pesan saya kepada Mas Yasin
yang buat undangan.
Undangan jaman
“IT” ini memang simpel. Cukup gethok tular lewat SMS. Hitungan menit
“terundang” sudah bisa membaca undangan. Efektif sekali. Bahkan para
“terundang” sudah bisa membalas bisa hadir atau tidak. Maka, tak perlu waktu
lama, mas Yasin sudah bisa mengabari saya, bahwa nanti yang datang akan lebih
banyak dari biasanya.
Benar saja.
Bukan isapan jempol, malam itu habis Isya’ di rumah dinas, saya dan istri “kebanjiran”
tamu warga. Secara bergelombang, satu demi satu undangan hadir ke rumah. Mereka
antusias, ada warga Bojonegoro yang jadi Pak Jekso di wilayah tempat mereka
merantau. Tak kurang hampir 100 orang (Suami-istri dan anak-anaknya) datang
berkumpul malam itu.
Rumah dinas yang
biasanya “senyap” berubah ramai. Mulai dari tukang batu, penjual Bakso, Pegawai
KPC---Kalimantan Prima Coal---, Polisi, Tentara, Kiai, Anggota DPRD, pengusaha
konveksi, penjual ikan bakar, sampai dosen, juga Jaksa—saya sendiri—malam itu
kumpul. Obrolan pun bak di kampung sendiri. “Piye leh”. Kata-kata khas orang Bojonegoro Barat Kalitidu-Padangan
sesekali terdengar. Kadang juga muncul “Iyo
je”. Yang ini pasti orang asal Bojonegoro Timur, Kepohbaru, Kedungadem,
Baureno.
Dari temu kangen
itu akhirnya saya tahu. Ternyata banyak orang Bojonegoro mengkais rejeki di
Kutai Timur. Salah satunya Drs. KH Sobirin—pengusaha bahan bangunan dan anggota
DPRD, ketua PKB yang sekaligus ketua MUI Kutim—ternyata anggota paguyuban. Ia
“ketarik” dari istrinya yang asli orang Kabunan, Balen, Bojonegoro.
Laskar Anglingdhramo di Sangatta yang
paling banyak adalah penjual Bakso. Ternyata Bakso Bojonegoro termasuk “rajanya
bakso” di Kutim. Lebih khusus lagi rata-rata dari Padangan, Bojonegoro. Saya
juga baru “ngeh” kalau bakso yang tiap hari nongkrong dengan sepeda motor menyambangi
Kantor Kejari Sangatta juga salah satu anak buah ‘wong” Padangan. Namanya
Mamanya Gladys. Keren kan. Yang tentara ada 3 orang semua dinas di Kodim.
Mereka kebanyak dari Kepohbaru dan Sugihwaras. Yang Polisi ada 2, semua berasal
dari Kalitidu.
Setelah diawali
dengan makan malam, saya memperkenalkan diri sebagai anggota baru, juga sebagai
tuan rumah. Kemudian acara dilanjut dengan “tausiah” dari Kang KH Sobirin. Mengutip
Kiai Sobirin, orang Bojonegoro ini datang ke Sangatta karena 2 “rang”. Apa itu?
faktor “kurang” atau “wirang” (malu). “Kurang karena faktor ekonomi, atau
“Wirang” karena habis kalah Pilkades,” guyon Kiai Sobirin.
Setelah Tauziah,
saya mengajukan perlunya “sesi” guneman (diskusi)
antar anggota. Terutama guneman
mencari peluang-peluang bisnis di Kutim. Tentu bisnis “baru” diluar perbaksoan
misalnya. Saya mengajukan ide, membuat batik khas Kutim, atau bisnis hiburan
anak-anak. Seperti kolam renang mini dan kereta kelinci. “Karena pengamatan
saya disini belum ada,”alasan saya. Ternyata pancingan saya berhasil. Suasana
menjadi “hidup” setelah membicarakan peluang bisnis. Saling bersautan usul. Tak
terasa waktu sampai menunjukkan pukul 23.00 WITA
“Baru kali ini
pak suasana menjadi hidup dan ramai dalam pertemuan Paguyuban ,”kata M Yasin sang
ketua yang akhirnya mengajak acara diakhiri saja. Mengingat waktu hampir
mendekati jam 24.00. Kesimpulan malam itu, acara pertemuan berikutnya akan
dilaksanakan di rumah KH Sobirin. Kemudian untuk peluang-peluang bisnis akan
dibicarakan secara khusus. Dan acara temu kangen pun akhirnya ditutup.
Seminggu
berselang, saya dengan KH Sobirin, Ketua M Yasin, Hariyono, SAg –Dosen STAIS
yang dan beberapa anggota Paguyuban kembali bertemu. Secara intens membicarakan
peluang-peluang bisnis. Kesimpulannya untuk kolam renang, akan dibangun dan
dikembangkan oleh KH Sobirin. Batik, menunggu akan ada lomba design batik khas Kutim. Lantas Kereta
kelinci mini, saya sudah menghubungi “pabriknya” di Madiun. “Bulan depan
datang. Kita sepakat memberi nama Kereta mini Argo Anglingdarmo. Rute Bukit
pelangi,” usul saya. Singkat dan selesai.
Minimal, sang
kereta Argo Anglingdharmo nanti saat beroperasi akan menambah uang kas Paguyuban.
Manfaat lain? Tentu ada. Minimal, “manisis” dan “kodektur” kereta nanti akan direkrut dari orang-orang
Bojonegoro. “mengurangi pengangguran”. Lantas izin operasi kereta? “sudah ada
lampu hijau dari Kapolres. Izin khusus sebagai kendaraan pariwisita”. Masih ada
peluang bisnis lain?
Ternyata masih
ada. “Bioskop mini,”usul saya lagi terinspirasi bioskop mini di Bojonegoro
depan Giant yang tiap hari terlihat selalu
antri. Semua sepakat. Segera akan dicari ruko tempat bioskop mini akan
“operasikan”. Incaran sudah ada di ruko Jl. Yos Sudarso. Jalan ini memang “tak
pernah mati”. Namapun kemungkinan Bioskop mini “Anglingdharmo Theather”. Masih
ada lagi? “Cukup...cukup...cukup. Ini dijalankan dulu,”kata saya.(DF)

selamat datang di bumi batu bara pak..!!
BalasHapusbagus-bagus bagus
BalasHapushebat bapak saya (y)
BalasHapussiji maneh mas DF, bisnis koran. mungkin iso anglingdharmo pos atau apalah jenenge, ojok radar sangatta (ngko dikiro grup jawa pos hehehe..). opo maneh pemred-e wis ono yo njenengan hehehe.. btw, selamat mas di tempat baruu...
BalasHapussalam soko tanah jowo
Agus Muttaqin (AGM) Jawa Pos (agmjawapos@gmail)