![]() | |
| Jalan Bontang - Sangatta |
![]() |
| Satu-satunya pesawat Balikpapan - Sangatta |
Akhir 2011 lalu,
saya mendapat SK pindah ke Sangatta. Hati berbunga-bunga karena kepindahan ke kota
itu adalah promosi jabatan. Tetapi hati saya juga dibayangi “penasaran” karena
belum pernah sekalipun saya menginjakkan kaki di bumi Etam (Sebutan bumi
Kalimantan Timur). Apalagi ke kota Sangatta, sebuah kota yang namanya “keren” berbau mana kota di Jepang.
Bergegas saya
keluarkan dan buka tablet Galaxy Tab ke menu google Maps. Dari google Maps
saya baru “ngeh” kalau Sangatta itu sebuah kota tak jauh dari laut. Kalau
dilihat di peta letaknya tidak jauh dibawahnya “kepala” pulau Kalimantan. Saya “pelototi”
jalan kearah Sangatta setelah “start” dari Balikpapan harus menuju Samarinda,
lalu ke Bontang dan baru Sangatta.
Setelah tahu
posisi kota, rasa penasaran saya berlanjut untuk mengetahui “isi” dan potensi
kota Sangatta. Seketika tangan saya segera “menggeser” dan minta informasi ke “mbah”
Google. Hasil “pencarian” google, pertama
yang muncul terbanyak adalah ulasan tentang keberadaan PT. Kalimantan Prima
Coal (KPC) di Sangatta. Kemudian adanya “Monster” buaya Sangatta yang terkenal
sangat besar (panjang lebih 6 meter) dan ganas.
Gambar-gambar
buaya raksasa yang ditangkap penduduk saya lihat satu persatu. Dari narasi
gambar-gambar penangkapan tersebut konon tak kurang telah 5 orang penduduk di Sangatta selama 10 tahun
terakhir di mangsa Monster tersebut. Dalam pikiran saya, “Wah Monster Sangatta
itu bisa jadi ikon kota, aku mau buat kaosnya,” (tulisan terpisah-Ikon Monster
dalam kaos).
Rasa penasaran
makin “menjadi-jadi” dan berkecamuk di hati. Terbayang banyak Monster buaya “berkeliaran”
di sungai-sungai Sangatta. Segera saya raih HP dan mencari di kontak nama teman
saya yang pernah dinas di Kalimantan Timur. Ketemu. Sebut saja namanya Bang
Harri. Langsung saya hubungi untuk menanyakan suasana kota Sangatta. Sengaja
saya tidak mengaku bila saya yang mau pindah ke Sangatta. Saya hanya bilang
kepada teman saya tadi, bila adikku diterima di PT KPC di Sangatta, “Kalau mau
ke sana harus naik apa?” tanya saya.
“Waduh, Sangatta
itu sangat jauh, saya sudah beberapa kali ke sana,” katanya. Turun pesawat di
Balikpapan dan harus menempuh perjalanan darat 9 jam dengan kondisi jalan
berkelok-kelok melewati “Bukit Soeharto” sebelum Samarinda. Kemudian Lanjut
Bontang dan baru Sangatta. “Makanya Sangatta itu kepanjangan dari kata Sangat
menderita. Disana harga makanan dan biaya hidup mahal. Air sudah, warna keruh
lagi,”jelas Bang Harri polos, “apa adanya”.
Saya yakin ia
berkata “jujur”. Tak ada yang ditutupi atau dilebih-lebihkan. Pasti yang
disampaikan itu benar adanya, sesuai “pengetahuannya” dan pengalamannya.
Apalagi ia pernah beberapa kali berkunjung disana. Keyakinan saya itu juga
karena Bang Harri tidak tahu kalau yang akan berangkat ke Sangatta saya
sendiri. Kalau tahu saya yang akan pindah ke Sangatta, pasti dia akan bohong.
Akan melebih-lebihkan keadaan Sangatta. Biar aku mantap dan senang berangkat
menuju Sangatta.
Setelah
menelpon, kesimpulan saya saat itu, Sangatta adalah kota baru hasil pemekaran
yang letaknya jauh dari Balikpapan. Keadaannya sesuai kata teman saya kota yang
masih berkembang dan semua serba mahal. Sungai-sungai banyak monster buayanya.
Dan disana ada pertambangan batubara yang besar bernama KPC, tentu kotanya
berdebu. Air pun keruh, karena tanahnya rawa.
Waktupun terus
berjalan. Akhirnya pertengahan Januari 2012 saya harus berangkat ke Kalimantan
Timur. Untuk “memulai” hidup di Bumi Etam. Melaksanakan tugas. Saya berangkat didampingi
istri. Tanpa anak-anak yang tetap sekolah di Bojonegoro. Tujuan pertama adalah
kota Samarinda. Karena acara pelantikan saya diadakan di Samarinda. Benar saja
kata bang Harri, bila jalan menuju Samarinda-Sangatta berkelok-kelok. Dari
Balikpapan ke Samarinda harus melewati bukit “Soeharto” selama 3 jam.
Setelah acara pelantikan
di Samarinda selesai, akhirnya tiba saatnya menuju Sangatta. Karena habis
pelantikan, kami ditemani 2 orang pegawai saya untuk menuju Sangatta. Benar
saja, kami harus melewati jalan berkelok-kelok, naik turun tiada berkesudahan.
Spontan saya teringat dengan suasana jalanan dari Batu Malang menuju Kediri.
Tak kurang sama persis, tetapi agak sempit. Berkali-kali saya “ketemu”
truk-truk besar mengangkut alat berat. Baik berpapasan, atau kami harus
menyalipnya. Terkadang kami harus berbagi jalan dengan kendaraan besar itu.
Seringkali mobil kami harus “mengalah”
turun ke bahu jalan “takut” kena “seruduk” truk besar itu.
Tiba di Sangatta
sudah laut malam. Jam 22.30 WITA. Saya kaget, kehidupan pertokoan dan para
penjual makanan di sepanjang masuk kota Jalan Yos Sudarso masih buka, dan ramai
pengunjung. Sepertinya ada “geliat”
ekonomi di kota ini. Sepanjang jalan, saya juga lihat hampir semua bank
nasioanl buka cabang di Sangatta. Kata istri saya, yang kebetulan pegawai BRI,
berarti potensi ekonomi Sangatta besar. “Kalau bank-bank tersebut berani buka
cabang disini pasti perputaran uang disini luar biasa,”kata istri saya.
Yang lebih kaget
lagi, ternyata bisnis Franchise dari negeri paman sam, Kentucy Fried Chicken
(KFC) juga sudah buka gereai di Sangatta. Di Gedung Sangatta Bisnis Center
(SBC). “Wah, kalau sekelas KFC juga sudah berani buka disini berarti ini daerah
potensial. Anak-anak kalau liburan kesini bakal senang ada KFC, “tambah istri
saya.
Lebih heboh
lagi, cerita Andi, pegawai di Kantor Sangatta yang menemani perjalanan kami
sejak dari Balipapan, bahwa di Sangatta juga sudah ada driving range golf.
Bahkan lapangan golf 18 hole sudah ada. “Bapak pasti senang bisa main golf
disini,” kata Andi sepertinya tahu kalau saya senang main golf. Soal makanan,
saya lihat serbuan “orang” Jawa Timur buka sea foodnya, orang Yogya dengan
rumah makan gudegnya, orang padang yang hampir setiap jengkal buat rumah makan
padang jadi berkembang Sangatta.
Setelah
menyusuri jalan utama pertokoan Jl Yos Sudarso, akhirnya kami dibelokkan menuju
Jalan Pendidikan menuju Bukit Pelangi, komplek perkantoran dan rumah dinas. Letak
di bukit pelangi, jaraknya 10 Km dari Jalan Yos Sudarso. Jalannya saya lihat
sudah empat jalur dipisah, mulus dan lebar. Nyala lampu masjid raya Sangatta yang
indah dan besar mengingatkan seperti masjid Agung Surabaya. “Wow...keren
Masjidnya dengan kubah warna hijau dihiasi lampu yang indah dimalam hari,”
gumanku.
Sayang lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) jalan pendidikan
yang sudah terpasang mati. “Maklum Pak, disini di Bukit Pelangi ini tidak ada
listrik PLN, yang ada listrik genset dari Pemda sendiri. Sehingga sering mati,”
kata Andi yang malam itu bak jadi guide
kami. Di Sangatta memang kekurangan pasokan listrik. “Saya pernah baca, owner
hotel paling mewah di Sangatta Royal Victoria mengeluh, marginnya sangat tipis
gara-gara tersedot pengeluaran genset yang harus menyediakan sendiri,”tambah
Andi.
Benar kata
orang, tentang listrik di Kaltim bak tikus mati dilumbung padi. Bagaimana
tidak, batubara yang diangkut dan menggerakkan turbin PLTU di seluruh Jawa
mulai Paiton, Jepara, Indramayu diambil dari bumi Kaltim. Sementara daerah
penghasil “rakyatnya” harus pakai genset sendiri-sendiri. Kalaupun ada listrik
PLN, daya yang sediakan terbatas. “Ada dokter yang istrinya teman di kantor
tidak bisa pasang AC untuk kliniknya karena selalu ditolak PLN kalau mau
menambah daya,”cerita Andi.
Akhir cerita,
saat ini saya sudah tinggal selama 2 bulan 15 hari di Sangatta dapat
menyimpulkan. Bahwa perkembangan dan perekonomian Sangatta “luar biasa”. Tidak
ada apa-apanya daerah Kabupaten di Jawa. Dari APBDnya aja sudah terlihat hampir
Rp 2,5 T. PT KPC memang sebagai
“penggerak” ekonomi Sangatta. Bagai gula-gula, banyak “semut” datang sebagai
tenaga, sub contrak, perusahaan alat berat, mobil, leasing, katering, loundry,
bengkel, rumah makan dan berduyun-duyun turunnya “berebut” kue ekonomi di
Sangatta.
Memang, datang ke Sangatta harus siap “tahan
nafas” bila biasa hidup di Jawa. Harga-harga makanan mahal. Aqua galon bila
di Jawa Rp 11 ribu, disini sudah Rp 34 ribu. Kalau di Jawa sekali makan nasi pecel
masih ada yang harga dibawah Rp 10, di Sangatta mininal 23 ribu. Kalau di Jawa
mau mengisi “bensin” kendaraan kapanpun, berapapun, dimanapun bisa. Karena SPBU
banyak yang 24 jam. Kalau di Sangatta jangan harap. Habis Magrib tutup. Kalau
pagi buka langsung antri. Antrean panjang. Bisa hampir 1 jam sekedar mengisi
bensin. Apalagi saat isu kenaikan BBM tempo hari, semua jalan menuju SPBU
macet..cet dampak antrean kendaraan.
Kembali ke soal,
apakah tinggal di Sangatta: Sangat menderita atau Sangat “A”syik akhirnya
tinggal kembali ke diri masing-masing. Kalau saya sih, antara sangat menderita
(ha ha...karena harus pisah dengan anak-istri), tapi juga sangat “A”syik, bisa
menghibur diri dengan driving atau main golf setiap hari. Tapi yang jelas belum
pernah ketemu Monster buaya Sangatta, meski saya sudah membuat Kaosnya dengan
gambar Monster Sangatta. (DF)


hahaha
BalasHapus